Artikel
Oleh: Siti Nur Haniffah
Pada
era modern ini, perkembangan dan pertumbuhan masyarakat sangat cepat sekali.
Masalah yang timbul juga banyak yang tak terduga. Salah satunya adalah masalah-
masalah yang muncul dalam lembaga ekonomi yaitu asuransi. Asuransi sebagai
salah satu lembaga keuangan yang bergerak dalam bidang pertanggungan merupakan
sebuah institusi modern hasil temuan dari dunia barat. Pada hakekatnya secara
teoritis semangat yang terkandung dalam sebuah lembaga asuransi tidak bisa
dilepaskan dari semangat sosial dan saling tolong menolong antara sesama
manusia. Kata asuransi berasal dari bahasa inggris, insurance yang dalam bahasa indonesia mempunyai padanan kata
“pertanggungan”. Dalam kitab Undang- Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246
dijelaskan bahwa yang dimaksud asuransi atau pertanggungan adalah suatu persetujuan dimana pihak yang meminjam
berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai
pengganti kerugian, yang mungkin kan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari
suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.[1]
Asuransi dalam islam yang paling sering digunakan adalah Takaful
yang dalam pengertian fiqh muamalah adalah jaminan sosial diantara sesama
muslim, sehingga antara satu dengan yang lainnya bersedia saling menanggung
resiko. Kesediaan menanggung risiko pada hakikatnya merupakan wujud tolong
menolong atas dasar kebaikan (tabarru’) untuk meringankan beban penderitaan
saudaranya yang tertimpa musibah.[2]
Prinsip dasar asuransi syari’ah[3]
1.
Tauhid (unity)
Artinya
bahwa dalam setiap gerak langkah serta bangunan hukum harus mencerminkan nilai-
nilai ketuhanan.
2.
Keadilan (justice)
Keadilan
dalam hal ini dipahami sebagai upaya dalam menempatkan hak dan kewajiban antara
nasabah dan perusahaan asuransi. Pertama, nasabah harus selalu membayar premi
dalam jumlah tertentu kepada perusahaan asuransi dan mempunyai hak untuk
mendapatkan sejumlah dana santunan jika terjadi peristiwa kerugian. Kedua,
perusahaan asuransi yang berfungsi sebagai lembaga pengelola dana mempunyai
kewajiban untuk membayar klaim kepada nasabah. Keuntungan yang dihasilkan dari
hasil investasi dana nasabah harus dibagi sesuai dengan akad yang disepakati
sejak awal.
3.
Tolong menolong.
4.
Kerjasama
Kerjasama
dalam bisnis asuransi dapat berwujud dalam bentuk akad yang dijadikan acuan
antara kedua belah pihak yang terlibat. Dalam operasionalnya, akad yang dapat
dipakai dalam bisnis asuransi dapat memakai konsep mudhorobah atau musyarokah.
5.
Amanah
Prinsip
amanah dalam organisasi perusahaan dapat berwujud dalam nilai akuntabilitas
perusahaan melalui penyajian pelaporan keuangan tiap periode. Selain itu
nasabah asuransi berkewajiban menyampaikan informasi yang benar berkaitan
dengan pembayaran premi dan tidak memanipulasi kerugian yang menimpanya
6.
Kerelaan
Tidak
ada paksaan antara pihak- pihak yang terikat oleh perjanjian akad. Sehinggga
kedua belah pihak bertransaksi atas dasar kerelaan bukan paksaan.
7.
Larangan riba
8.
Larangan maisir (judi)
9.
Larangan ghoror (ketidakpastian)
Bentuk-bentuk asuransi syari’ah
Tiga jenis perlindungan takaful
1. Takaful Keluarga
Adalah .bentuk takaful yang memberikan perlindungan finansial kepada peserta
takaful dalam menghadapi bencana kematian dan kecelakaan yang menimpa kepada peserta takaful. Bentuk-bentuk takaful
keluarga yang ditawarkan adalah: Takaful berencana, Takaful pembiayaan, Takaful
pendidikan, Takaful dana haji, Takaful berjangka, Takaful kesehatan.
2.
Takaful
Umum Adalah bentuk takaful yang memberikan perlindungan finansial kepada
peserta takaful dalam menghadapi bencana atau kecelakaan harta benda milik
peserta takaful. Bentuk-bentuk takaful umum yang ditawarkan adalah : Takaful
kebakaran, Takaful kendaran bermotor, Takaful pengangkutan, Takaful rekayasa[4]
3.
Asuransi
Retakaful (reasuransi islam)
Perusahaan
Retakaful menawarkan jaminan untuk perusahaan takaful terhadap berbagai resiko,
kerugian, atau penipisan modal dan cadangan yang disebabkan oleh pembukaan
klaim yang tinggi.[5]
Akad yang Membentuk Asuransi
Syari’ah
Secara
umum akad yang digunakan dalam asuransi islam merupakan akad tijaroh dan juga
akad tabarru. Akad tijaroh yang dipakai
adalah:
1.
Akad mudhorobah: perusahaan asuransi
bertindak sebagai mudhorib yang mengelola dana dari peserta, sementara peserta
bertindak sebagai shahibul maal
2.
Akad wadi’ah. Akad wadi’ah yang
digunakan dalan asuransi islam adalah wadiah yad dhomanah, di mana pihak pihak
yang dititipkan dana, berhak untuk memanfaatkan dana tersebut.
3.
Akad wakalah. Dalam asuransi islam,
konsep wakalah banyak dipakai dengan adanya konsep pemasaran, dimana dunia
asuransi islam mendelegasikan berbagai macam informasi dan manfaat menggunakan
asuransi islam melalui tenaga- tenaga pemasaran mereka.
4.
Akad musyarakah. Konsep asuransi islam
pada dasarnya merupakan konsep musyarokah, di mana terdapat perusahaan asuransi
yang memiliki tenaga dan juga keahlian, setra peran serta asuransi islam yang memiliki
dana dan juga modal.[6]
Mekanisme
Pengelolaan Dana Takaful
1.
Takaful
keluarga
·
Premi
takaful yang diterima dimasukkan kedalam rekening tabungan dan rekening tabarru’
·
Premi
takaful tersebut disatukan dalam kumpulan dana peserta, kemudian dikembangkan
melalui investasi proyek yang dibenarkan islam dengan menggunakan prinsip
mudhorobah.
·
Dari
keuntungan peserta dimasukkan dalam rekening tabungan dan rekening tabarru’ secara
proposional.
2.
Takaful
Umum
·
Premi
takaful diterima dimasukkan dalam rekening tabarru’
·
Premi
takaful tersebut dimasukkan kedalam kumpulan dana peserta, kemudian
dikembangkan melalui investasi yang dibenarkan islam.
·
Keuntungan
investasi yang diperoleh dimasukkan ke dalam kumpulan dana
peserta
·
Setelah dikurangi beban asuransi dan masih terdapat kelebihan, maka kelebihan
itu akan dibagi antara penanggung dan tertanggung.
Pendapat Ulama Tentang Asuransi
Bisnis
asuransi adalah sesuatu yang baru dalam literatur fiqih islam dan termasuk
dalam kategori masalah kontemporer yang baru. Pera ulama berbeda pendapat dalam
menentukan keabsahan praktik hukum asuransi. Pendapat tersebut dikemukakan oleh
beberapa ulama antara lain:
1. Ansuransi dengan segala bentuknya haram, pendapat ini
dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah Al Qaldili, dan Muhammad Yusuf Al
Qardawi. Alasannya asuransi serupa dengan judi, mengandung unsur riba.
2. Perjanjian asuransi tidak bertentangan dengan syariat
islam, pendapat ini dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf, Mustafa Ahmad Zarqa,
Muhamad Yusuf Musa dan Abdul Rahman Isa. Alasannya tidak ada nash yang melarang
asuransi, ada keseepakatan kedua belah pihak, asuransi termasuk akad
mudharabah.
3. Asuransi sosial diterima dan asuransi bersifat komersial
tidak diterima, pendapat ini dikemukakan oleh Abu Zahrah. Alasannya dia
mengatakan bahwa asuransi sosial boleh dengan alasan sebagaimana pendapat kedua
dan asuransi bersifat ekonomis tidak diterima dengan alasan sama dengan
pendapat pertama.
4. Asuransi adalah subhat.[7]
[1]
Masyfuk Zuhdi, Islam dan Keluarga Berencana di Indonesia (Surabaya: Bina
Ilmu, 1986), 162.
[2]
Burhanuddin s. Aspek Hukum
lembaga keuangan Syari’ah Yogyakarta: Graha ilmu, 2010), 98.
[3]
Hasan Alwi. Asuransi dalam
Prespektif Hukum Islam (Jakarta : Prenada media ), 125
[4]
Warkum Sumitro.Asas-asas
perbankan islam dan lembaga-lembaga terkait (BMUI dan Takaful) di Indonesia (jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),170-172.
[5]
Ibid.
[6]
Nurul Huda & M. Haikal. Lembaga
Keuangan Islam (Jakarta : kencana, 2010), 181.
[7]
Surrahwardi K. Lubis. Hukum
Ekonomi islam.( jakarta : Sinar Grafika, 2000), 75-76.
0 komentar:
Posting Komentar