Artikel
Oleh : Siti Nur Haniffah
Menabung adalah tindakan yang dianjurkan oleh islam, karena
dengan menabung berarti seorang muslim mempersiapkan diri untuk pelaksanaan
perencanaan masa yang akan datang sekaligus untuk menghadapi hal- hal yang
tidak diinginkan.[1] Dalam
Al- Qur’an ada ayat- ayat yang memerintakan kaum muslimin untuk mempersiapkan
hari esok secara lebih baik begitu juga dalam hadis Nabi.
1.
Al- Qur’an Surat An- Nisaa’:9
|·÷uø9ur úïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz ZpÍhè $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøn=tæ (#qà)Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´Ïy ÇÒÈ
“Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.”
2.
Al- Hadits
Dalam Hadist
Nabi saw. banyak disebutkan tentang sikap hemat ini. Salah satunya Nabi saw.
memuji sikap hemat sebagai suatu sikap yang diwariskan oleh para nabi
sebelumnya seperti yang dikatakan beliau “ Sikap yang baik, penuh kasih
sayang, dan berlaku hemat adalah sebagian dari dua puluh empat bagian kenabian.”(HR.
Tirmidzi)
Memilih
Antara Wadi’ah Dan Mudharabah
Berdasarkan Undang- undang Nomor 10
tahun 1998 tentang Perbankan tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya
dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat
ditarik dengan cek, bilyet giro dan atau alat lainya yang dipersamakan dengan
itu. Adapun tabungan syari’ah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan
prinsip- prinsip syari’ah.[2]
Seseorang yang ingin menabung di Bank Syariah dapat memilih antara akad al-
wadi’ah atau al mudharabah. Jenis peoduknya antara lain :
1.
Giro. Pada umumnya bank syari’ah menggunakan akad al-
wadi’ah pada rekening giro. Dalam fiqih mu’amalah, wadi’ah dibagi menjadi 2
macam: wadi’ah yad al- amanah yaitu akad
titipan yang dilakukan dengan kondisi penerima titipan (bank) tidak wajib
mengganti jika terjadi kerusakan. Biasanya diterapkan bank pada titipan murni.
Dalam hal ini bank hanya bertanggung jawab atas kondisi barang (uang) yang
dititpkan. Adapun wadi’ah yad adh- dhamanah adalah titipan yang dilakukan
dengan kondisi penerima titipan bertanggung jawab atas nilai bukan fisik dari
uang yang dititipkan. Bank syari’ah menggunkan akad ini untuk rekening giro.
Karena sifatnya sebagai titipan yang bisa diambil sewaktu- waktu, pada
prinsipnya giro berdasarkan wadi’ah ini tidak mendapatkan keuntungan, bahkan
seharusnya nasabah membayar kepada bank karena ia telah menugasnya untuk
menyimpan supaya aman. Tidak menutup kemungkinan bank dapat memberikan semacam
bonus kepada para pemegang giro. Bonus ini tidak boleh diperjanjikan dimuka
karena jika dilakukan akan sama dengan bunga. [3]
2.
Tabungan. Bank syariah
menerapkan dua akad dalam tabungan, yaitu wadi’ah dan mudharabah. Tabungan
wadi’ah merupakan tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadi’ah, yakni
titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan
kehendak pemiliknya. Berkaitan dengan produk tabungan wadi’ah, bank syari’ah
menggunakan akad wadi’ah yad adh- dhamanah.[4]
Dalam hal ini nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan kepada bank
syari’ah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya,
sedangkan bank syari’ah bertindak sebagai pihak yang dititipi dana atau barang
yang disertai hak untuk menggunakan atau memanfaatkan dana atau barang
tersebut. Sebagai konsekuensinya, bank bertanggung jawab terhadap keutuhan
harta titipan tersebut serta mengembalikanya kapan saja pemiliknya menghendaki.
Disisi lain bank juga berhak sepenuhnya atas keuntungan dari hasil pengunaan
atau pemanfaatan dana atau barang tersebut. Nasabah penitip dan bank tidak
boleh saling menjanjikan untuk membagihasilkan keuntungan harta tersebut. Namun
demikian bank diperkenankan memberikan bonus kepada pemilik harta titipan
selama tidak disyaratkan dimuka yang merupakan kebijakan bank syari’ah semata
yang bersifat sukarela.[5]
Tabungan mudharabah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan akad
mudharabah. Diamana bank syari’ah bertindak sebagai mudharib (pengelola dana)
sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul mal (pemilik dana). Mudharabah
mempunyai 2 bentuk yakni mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah. Perbedaan
keduanya terletak pada ada atau tidaknya persyaratan yang diberikan pemilik
dana kepada bank dalam mengelola harta. Mudharabah mutlaqah yaitu mudharabah
yang sifatnya mutlak dimana shahib al-mal tidak menetapkan syarat- syarat
tertentu kepada si mudharib. Sedangkan mudharabah muqayyadah yaitu shahib
al-mal boleh menetapkan syarat- syarat tertentu guna menyelamatkan modalnya
dari resiko kerugian yang syarat- syarat tersebut harus dipenuhi oleh si
mudharib, apabila mudharib melanggarnya ia harus bertanggung jawab atas
kerugian yang timbul.[6] Tabungan yang menerapkan akad mudharabah
mengikuti prinsip- prinsip sebagai berikut. Pertama, keuntungan dari
dana yang digunakan harus dibagi antara shohibul mal dan mudharib. Kedua,
adanya tenggang waktu antara dana yang diberikan dan pembagian keuntungan, karena untuk melakukan investasi dengan
memutarkan dana itu diperlukan waktu yang cukup.[7]
3.
Deposito. Bank
syari’ah menerapkan akad mudharabah untuk deposito. Seperti dalam tabungan,
dalam hal ini nasabah (deposan) bertindak sebagai shahibul maal dan bank selaku
mudharib. Penerapan mudhrabah terhadap deposito dikarenakan kesesuaian yang
terdapat diantara keduanya. Misalnya akad mudhrabah mensyaratkan adanya
tenggang waktu antara penyetoran dan penarikan agar dana itu bisa diputarkan.
Tenggang waktu itu merupakan salah satu sifat deposito bahkan dalam deposito
terdapat pengaturan waktu, seperti 30 hari, 90 hari dan seterusnya. [8]
[1] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani Press,
2001), 153.
[2] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 271.
[3] Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, 155-156.
[4] Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, 271- 272.
[5] Ibid.
[6] Ibid., 273.
[7] Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, 156.
[8] Ibid., 157.
0 komentar:
Posting Komentar