twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Menabung di Bank Syari’ah



Artikel
Oleh : Siti Nur Haniffah



Menabung adalah tindakan yang dianjurkan oleh islam, karena dengan menabung berarti seorang muslim mempersiapkan diri untuk pelaksanaan perencanaan masa yang akan datang sekaligus untuk menghadapi hal- hal yang tidak diinginkan.[1] Dalam Al- Qur’an ada ayat- ayat yang memerintakan kaum muslimin untuk mempersiapkan hari esok secara lebih baik begitu juga dalam hadis Nabi.
1.    Al- Qur’an Surat An- Nisaa’:9
|·÷uø9ur šúïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz Zp­ƒÍhèŒ $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøŠn=tæ (#qà)­Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´ƒÏy ÇÒÈ 
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.”
2.        Al- Hadits
Dalam Hadist Nabi saw. banyak disebutkan tentang sikap hemat ini. Salah satunya Nabi saw. memuji sikap hemat sebagai suatu sikap yang diwariskan oleh para nabi sebelumnya seperti yang dikatakan beliau “ Sikap yang baik, penuh kasih sayang, dan berlaku hemat adalah sebagian dari dua puluh empat bagian kenabian.”(HR. Tirmidzi)
Memilih Antara  Wadi’ah Dan Mudharabah
            Berdasarkan Undang- undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro dan atau alat lainya yang dipersamakan dengan itu. Adapun tabungan syari’ah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan prinsip- prinsip syari’ah.[2] Seseorang yang ingin menabung di Bank Syariah dapat memilih antara akad al- wadi’ah atau al mudharabah. Jenis peoduknya antara lain :
1.    Giro. Pada  umumnya bank syari’ah menggunakan akad al- wadi’ah pada rekening giro. Dalam fiqih mu’amalah, wadi’ah dibagi menjadi 2 macam: wadi’ah yad al- amanah  yaitu akad titipan yang dilakukan dengan kondisi penerima titipan (bank) tidak wajib mengganti jika terjadi kerusakan. Biasanya diterapkan bank pada titipan murni. Dalam hal ini bank hanya bertanggung jawab atas kondisi barang (uang) yang dititpkan. Adapun wadi’ah yad adh- dhamanah adalah titipan yang dilakukan dengan kondisi penerima titipan bertanggung jawab atas nilai bukan fisik dari uang yang dititipkan. Bank syari’ah menggunkan akad ini untuk rekening giro. Karena sifatnya sebagai titipan yang bisa diambil sewaktu- waktu, pada prinsipnya giro berdasarkan wadi’ah ini tidak mendapatkan keuntungan, bahkan seharusnya nasabah membayar kepada bank karena ia telah menugasnya untuk menyimpan supaya aman. Tidak menutup kemungkinan bank dapat memberikan semacam bonus kepada para pemegang giro. Bonus ini tidak boleh diperjanjikan dimuka karena jika dilakukan akan sama dengan bunga. [3]
2.    Tabungan. Bank syariah menerapkan dua akad dalam tabungan, yaitu wadi’ah dan mudharabah. Tabungan wadi’ah merupakan tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadi’ah, yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan kehendak pemiliknya. Berkaitan dengan produk tabungan wadi’ah, bank syari’ah menggunakan akad wadi’ah yad adh- dhamanah.[4] Dalam hal ini nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan kepada bank syari’ah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan bank syari’ah bertindak sebagai pihak yang dititipi dana atau barang yang disertai hak untuk menggunakan atau memanfaatkan dana atau barang tersebut. Sebagai konsekuensinya, bank bertanggung jawab terhadap keutuhan harta titipan tersebut serta mengembalikanya kapan saja pemiliknya menghendaki. Disisi lain bank juga berhak sepenuhnya atas keuntungan dari hasil pengunaan atau pemanfaatan dana atau barang tersebut. Nasabah penitip dan bank tidak boleh saling menjanjikan untuk membagihasilkan keuntungan harta tersebut. Namun demikian bank diperkenankan memberikan bonus kepada pemilik harta titipan selama tidak disyaratkan dimuka yang merupakan kebijakan bank syari’ah semata yang bersifat sukarela.[5] Tabungan mudharabah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan akad mudharabah. Diamana bank syari’ah bertindak sebagai mudharib (pengelola dana) sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul mal (pemilik dana). Mudharabah mempunyai 2 bentuk yakni mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah. Perbedaan keduanya terletak pada ada atau tidaknya persyaratan yang diberikan pemilik dana kepada bank dalam mengelola harta. Mudharabah mutlaqah yaitu mudharabah yang sifatnya mutlak dimana shahib al-mal tidak menetapkan syarat- syarat tertentu kepada si mudharib. Sedangkan mudharabah muqayyadah yaitu shahib al-mal boleh menetapkan syarat- syarat tertentu guna menyelamatkan modalnya dari resiko kerugian yang syarat- syarat tersebut harus dipenuhi oleh si mudharib, apabila mudharib melanggarnya ia harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul.[6]  Tabungan yang menerapkan akad mudharabah mengikuti prinsip- prinsip sebagai berikut. Pertama, keuntungan dari dana yang digunakan harus dibagi antara shohibul mal dan mudharib. Kedua, adanya tenggang waktu antara dana yang diberikan dan pembagian keuntungan,  karena untuk melakukan investasi dengan memutarkan dana itu diperlukan waktu yang cukup.[7]
3.    Deposito. Bank syari’ah menerapkan akad mudharabah untuk deposito. Seperti dalam tabungan, dalam hal ini nasabah (deposan) bertindak sebagai shahibul maal dan bank selaku mudharib. Penerapan mudhrabah terhadap deposito dikarenakan kesesuaian yang terdapat diantara keduanya. Misalnya akad mudhrabah mensyaratkan adanya tenggang waktu antara penyetoran dan penarikan agar dana itu bisa diputarkan. Tenggang waktu itu merupakan salah satu sifat deposito bahkan dalam deposito terdapat pengaturan waktu, seperti 30 hari, 90 hari dan seterusnya. [8]
           
           




[1] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke  Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 153.
[2] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), 271.
[3] Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke  Praktek, 155-156.
[4] Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, 271- 272.
[5] Ibid.
[6] Ibid., 273.
[7] Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke  Praktek, 156.
[8] Ibid., 157.

0 komentar:

Posting Komentar