Artikel (fiqih mu’amalah)
Oleh : Siti Nur Haniffah
Allah Swt. Telah menjadikan manusia, masing- masing
saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka tolong menolong, tukar menukar
keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing- masing, baik dengan
jalan jual beli, sewa menyewa dan lain- lain, baik dalam urusan kepentingan
sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Interaksi antar-individu manusia adalah
perkara yang penting yang mendapatkan perhatian besar dalam Islam. Khususnya,
yang berhubungan dengan pertukaran harta atau yang biasa disebut dengan jual
beli. Jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain. Didalam Al-
Qur’an Allah Swt. memerintahkan kepada manusia untuk mencari harta dengan jalan
yang halal, dan melarangnya dengan cara yang batil, terutama dalam hal
perdagangan (jual beli). Dalam praktik jual beli tersebut Allah memberikan
rukun dan syarat- syarat tertentu, agar pertukaran tersebut bisa berjalan
dengan lancar, tanpa ada salah satu pihak yang merasa dirugikan, diantaranya
yaitu:
Menurut ulma’ Hanafiah, rukun dan syarat jual beli
adalah ijab dan qabul ,bahwa antara ijab dan qabul harus bersatu yakni
berhubungan antara ijab dan qabul walaupun tempatnya tidak bersatu, yang
menunjukkan barang secara ridho baik dengan ucapan maupun perbuatan.[1]
Adapun menurut jumhur ulama’yaitu:
a. Bai’
( penjual ) dan mustari ( pembeli ), syaratnya dewasa, sadar, tidak dipaksa (suka
sama suka ) islam, pembeli bukanlah musuh.
b. Ma’qud
‘alaih ( barang), syaratnya barang itu suci, bermanfaat, dapat diserahkan,
barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain, jelas ( baik ukuranya,
timbangan jenisnya, tidak mengandung unsur gharar ) dan diketahui orang yang
melakukan.
c. Alat
tukar, syaratnya jelas, bisa di tukarkan dengan barang.
d. Sighat,
syaratnya ijab dan qabul tidak terpisah, antara ijab dan qabul bersesuaian.[2]
Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur,
pertalian yang satu dengan yang lain pun menjadi teguh. Salah
satu firman Allah yang termasuk landasan dalam jual beli yaitu :
QS. An-
Nisa’ : 29
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr&
Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br&
cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ
Artinya :
“ Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.”
Kandungan
Hukum
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä
w
(#þqè=à2ù's?
Nä3s9ºuqøBr&
Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
Hai orang- orang
yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.
Janganlah orang- orang mukmin menjadi tamak atau rakus
terhadap hak orang lain, dengan mengambil hak- hak itu tanpa melalui jalan yang benar. Karena
itu, janganlah kamu memakan (mengambil) harta saudara- saudaramu (orang atau
pihak lain) dan jangan pula kamu bersengketa karena masalah harta, yang kamu
peroleh dengan jalan yang batil ( curang ).[3]
Kata Nä3s9ºuqøBr& yang
dimaksud ayat diatas adalah harta yang
beredar dalam masyarakat. Hal itu untuk menunjukkan bahwa harta
anak yatim dan harta siapapun sebenarnya merupakan “milik” bersama, dalam arti
ia harus beredar dan menghasilkan manfaat bersama. Yang membeli sesuatu dengan
harta itu mendapat untung, demikian juga penjual, demikian juga penyewa dan
yang menyewakan barang, penyedekah dan penerima sedekah, dan lain- lain. Semua
hendak meraih keuntungan karena harta itu “milik” manusia sekalian, dan telah
dijadikan Allah qiyaman yakni sebagai pokok kehidupan untuk manusia.[4]
Kata-kata Mà6oY÷t/ menunjukkan bahwa harta yang haram
biasanya menjadi pangkal persengketaan di dalam transaksi antara orang yang
memakan dengan orang yang hartanya dimakan. Agar yang ditarik tidak putus dan
agar yang menarik tidak terseret, maka diperlukan kerelaan mengulur dari
masing- masing. Bahkan yang terbaik adalah bila masing- masing senang dan bahagia,
dengan apa yang diperolehnya. Itu sebabnya Allah menetapkan neraca dan
memerintahkan untuk menegakkannya bil qist, bukan bil ‘adl. Menegakkan neraca
dengan qisth menjadikan kedua belah pihak tidak mengalami kerugian, bahkan
masing- masing memperoleh apa yang diharapkannya.[5]
HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB
Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu. Maksudnya, bila pencarian harta itu dilakukan
dengan perniagaan diantara kamu dengan suka sama suka , maka hal ini tidak
termasuk yang dilarang dalam nash itu.[6]
Perniagaan merupakan jalan tengah yang bermanfaat
antara produsen dan konsumen, yang dilakukan dengan memasarkan barang.
Perolehan manfaat yang didasarkan pada kemahiran dan kerja keras, tetapi dalam
waktu yang sama dapat saja diperoleh keuntungan dan kerugian. Dan pokok utamanya adalah ridha, suka sama
suka dalam garis yang halal.[7]
Sehingga dengan tegas ayat diatas memberi pengertian
bahwa: Jual beli dilakukan atas dasar persetujuan bersama oleh kedua belah
pihak atau lebih. Jual beli bukanlah hal yang abadi, karena itu jangan sampai
melupakan urusan akhirat. Mencari keuntungan dengan jual beli diperbolehkan,
dengan cara yang hak (benar) dan tidak merugikan pihak lain.[8]
Oleh karena harta tidak ubahnya seperti ruh, maka kita
dilarang merusaknya dengan kebatilan, sebagaimana kita dilarang untuk merusak
(membunuh diri).[9]
wur (#þqè=çFø)s?
öNä3|¡àÿRr&
janganlah kamu membunuh dirimu sendiri.
Segala harta benda yang ada, pada hakikatnya ialah harta
kamu. Segala nyawa yang ada pun adalah pada hakikatnya nyawa kamu. Diri orang
itu pun diri kamu, Membunuh orang lain sama dengan membunuh diri sendiri.
Bahkan juga dipandang membunuh seluruh umat. Apabila membunuh orang lain
berdosa, maka membunuh diri sendiri lebih besar dosanya dan itu merupakan
perbuatan yang sangat sadis. Perbuatan itu tidak layak dan tidak sepantasnya
dilakukan oleh orang yang beriman. Ini sebabnya, al- Qur’an dengan tegas
melarang orang bunuh diri.[10]
¨bÎ) ©!$#
tb%x. öNä3Î/
$VJÏmu
Sesungguhnya Allah Maha Kekal
rahmat- Nya.
Dengan melarang kalian memakan harta secara batil dan
membunuh diri kalian sendiri, Sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadap
kalian. Sebab Dia telah memelihara darah dan harta kalian yang merupakan pokok
kemaslahatan dan manfaat bagi kalian.[11]
Makna Al-
Bathil dan ‘Antaradhin dalam kerangka jual beli.
Dalam jual beli, al bathil yaitu tidak terpenuhinya syarat
dan rukun dalam jual beli. Misalnya,berbuat curang dalam jual beli, mengurangi
timbangan, menipu, jual beli barang yang haram dan lain- lain yang cara
mendapatkan harta itu tidak dibenarkan atau diizinkan oleh Allah.[12]
Menurut syafi’i, bahwa memperjualbelikan barang yang
tidak suci itu Haram. Seperti menjual khamr, menjual darah di PMI. Menurut
hanafi, bahwa memperjualbelikan barang yang ada manfaatnya iu boleh menurut
syara’. Seperti jual beli alkohol, jual beli darah di PMI.
Sehingga dapat dismpulkan bahawa dalam jual beli itu
harus secara ‘antaradhin, yaitu ridha, sukasama suka dalam garis yang halal, artinya
terpenuhinya rukun dan syarat dalam jual beli. Jual beli disini seperti
penerjemahannya dalam khiyar, yaitu pembeli dan penjual mempunyai hak untuk
meneruskan atau memeberhentikan jual beli. Sehingga orang yang bertransaksi
sama-sama ridho, tidak adanya unsur al bathil. [13]
[1]
Racmat Syafe’i, Fiqih Mu’amalah ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 75-76
[2]
Ibid.,82-83.
[3] Muhammad Hasbi Ash-
Shiddieqy, Tafsir Al- Qur’anul Majid An- Nuur (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 2000), 835.
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al- Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur’an vol 2 (Jakarta: Lentera
Hati, 2000), 392.
[5]
Ibid.
[6] Sayyid Quthb, Tafsir Fi
Zhilalil Qur’an Di bawah Naungan
Al- Qur’an Jilid II, Terj. As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 2004),
342.
[7]
Hamka, Tafsir Al- Azhar Juz V (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 2004), 31.
[8]
Ash- Shiddieqy, Tafsir Al- Qur’an, 836.
[9]
Ahmad Mustafa Al- Maragi, Tafsir Al- Maragi Juz V, Terj. Bahrun Abu
Bakar dkk (Semarang: CV. Toha Putra,
1992), 27.
[10]
Ash- Shiddieqy, Tafsir Al- Qur’an, 836.
[11]
Ahmad, Tafsir Al- Maragi, 29.
[12]
Racmat Syafe’i, Fiqih Mu’amalah ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 86.
[13]
Ibid.,103.
0 komentar:
Posting Komentar