twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Mencari Rizqi halal dengan Jalan Jual Beli



Artikel  (fiqih mu’amalah)
Oleh : Siti Nur Haniffah

Allah Swt. Telah menjadikan manusia, masing- masing saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka tolong menolong, tukar menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing- masing, baik dengan jalan jual beli, sewa menyewa dan lain- lain, baik dalam urusan kepentingan sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Interaksi antar-individu manusia adalah perkara yang penting yang mendapatkan perhatian besar dalam Islam. Khususnya, yang berhubungan dengan pertukaran harta atau yang biasa disebut dengan jual beli. Jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain. Didalam Al- Qur’an Allah Swt. memerintahkan kepada manusia untuk mencari harta dengan jalan yang halal, dan melarangnya dengan cara yang batil, terutama dalam hal perdagangan (jual beli). Dalam praktik jual beli tersebut Allah memberikan rukun dan syarat- syarat tertentu, agar pertukaran tersebut bisa berjalan dengan lancar, tanpa ada salah satu pihak yang merasa dirugikan, diantaranya yaitu:
Menurut ulma’ Hanafiah, rukun dan syarat jual beli adalah ijab dan qabul ,bahwa antara ijab dan qabul harus bersatu yakni berhubungan antara ijab dan qabul walaupun tempatnya tidak bersatu, yang menunjukkan barang secara ridho baik dengan ucapan maupun perbuatan.[1]
Adapun  menurut jumhur ulama’yaitu:
a.    Bai’ ( penjual ) dan mustari ( pembeli ), syaratnya dewasa, sadar, tidak dipaksa (suka sama suka ) islam, pembeli bukanlah musuh.
b.    Ma’qud ‘alaih ( barang), syaratnya barang itu suci, bermanfaat, dapat diserahkan, barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain, jelas ( baik ukuranya, timbangan jenisnya, tidak mengandung unsur gharar ) dan diketahui orang yang melakukan.
c.    Alat tukar, syaratnya jelas, bisa di tukarkan dengan barang.
d.   Sighat, syaratnya ijab dan qabul tidak terpisah, antara ijab dan qabul bersesuaian.[2]
Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang satu dengan yang lain pun menjadi teguh.  Salah satu firman Allah yang termasuk landasan dalam jual beli yaitu :
 QS. An- Nisa’ : 29
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ
Artinya :
“ Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.”
Kandungan Hukum
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.
Janganlah orang- orang mukmin menjadi tamak atau rakus terhadap hak orang lain, dengan mengambil hak- hak  itu tanpa melalui jalan yang benar. Karena itu, janganlah kamu memakan (mengambil) harta saudara- saudaramu (orang atau pihak lain) dan jangan pula kamu bersengketa karena masalah harta, yang kamu peroleh dengan jalan yang batil ( curang ).[3]
Kata  Nä3s9ºuqøBr& yang dimaksud  ayat diatas adalah harta yang beredar dalam masyarakat. Hal itu untuk menunjukkan bahwa harta anak yatim dan harta siapapun sebenarnya merupakan “milik” bersama, dalam arti ia harus beredar dan menghasilkan manfaat bersama. Yang membeli sesuatu dengan harta itu mendapat untung, demikian juga penjual, demikian juga penyewa dan yang menyewakan barang, penyedekah dan penerima sedekah, dan lain- lain. Semua hendak meraih keuntungan karena harta itu “milik” manusia sekalian, dan telah dijadikan Allah qiyaman yakni sebagai pokok kehidupan untuk manusia.[4]
Kata-kata Mà6oY÷t/ menunjukkan bahwa harta yang haram biasanya menjadi pangkal persengketaan di dalam transaksi antara orang yang memakan dengan orang yang hartanya dimakan. Agar yang ditarik tidak putus dan agar yang menarik tidak terseret, maka diperlukan kerelaan mengulur dari masing- masing. Bahkan yang terbaik adalah bila masing- masing senang dan bahagia, dengan apa yang diperolehnya. Itu sebabnya Allah menetapkan neraca dan memerintahkan untuk menegakkannya bil qist, bukan bil ‘adl. Menegakkan neraca dengan qisth menjadikan kedua belah pihak tidak mengalami kerugian, bahkan masing- masing memperoleh apa yang diharapkannya.[5]
HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB  
Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.  Maksudnya, bila pencarian harta itu dilakukan dengan perniagaan diantara kamu dengan suka sama suka , maka hal ini tidak termasuk yang dilarang dalam nash itu.[6]
Perniagaan merupakan jalan tengah yang bermanfaat antara produsen dan konsumen, yang dilakukan dengan memasarkan barang. Perolehan manfaat yang didasarkan pada kemahiran dan kerja keras, tetapi dalam waktu yang sama dapat saja diperoleh keuntungan dan kerugian.  Dan pokok utamanya adalah ridha, suka sama suka dalam garis yang halal.[7]
Sehingga dengan tegas ayat diatas memberi pengertian bahwa: Jual beli dilakukan atas dasar persetujuan bersama oleh kedua belah pihak atau lebih. Jual beli bukanlah hal yang abadi, karena itu jangan sampai melupakan urusan akhirat. Mencari keuntungan dengan jual beli diperbolehkan, dengan cara yang hak (benar) dan tidak merugikan pihak lain.[8]
Oleh karena harta tidak ubahnya seperti ruh, maka kita dilarang merusaknya dengan kebatilan, sebagaimana kita dilarang untuk merusak (membunuh diri).[9]
Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 
janganlah kamu membunuh dirimu sendiri.
Segala harta benda yang ada, pada hakikatnya ialah harta kamu. Segala nyawa yang ada pun adalah pada hakikatnya nyawa kamu. Diri orang itu pun diri kamu, Membunuh orang lain sama dengan membunuh diri sendiri. Bahkan juga dipandang membunuh seluruh umat. Apabila membunuh orang lain berdosa, maka membunuh diri sendiri lebih besar dosanya dan itu merupakan perbuatan yang sangat sadis. Perbuatan itu tidak layak dan tidak sepantasnya dilakukan oleh orang yang beriman. Ini sebabnya, al- Qur’an dengan tegas melarang orang bunuh diri.[10]
¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu 
Sesungguhnya Allah Maha Kekal rahmat- Nya.
Dengan melarang kalian memakan harta secara batil dan membunuh diri kalian sendiri, Sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadap kalian. Sebab Dia telah memelihara darah dan harta kalian yang merupakan pokok kemaslahatan dan manfaat bagi kalian.[11]

Makna Al- Bathil dan ‘Antaradhin dalam kerangka jual beli.
Dalam jual beli, al bathil yaitu tidak terpenuhinya syarat dan rukun dalam jual beli. Misalnya,berbuat curang dalam jual beli, mengurangi timbangan, menipu, jual beli barang yang haram dan lain- lain yang cara mendapatkan harta itu tidak dibenarkan atau diizinkan oleh Allah.[12]
Menurut syafi’i, bahwa memperjualbelikan barang yang tidak suci itu Haram. Seperti menjual khamr, menjual darah di PMI. Menurut hanafi, bahwa memperjualbelikan barang yang ada manfaatnya iu boleh menurut syara’. Seperti jual beli alkohol, jual beli darah di PMI.
Sehingga dapat dismpulkan bahawa dalam jual beli itu harus secara ‘antaradhin, yaitu ridha, sukasama suka dalam garis yang halal, artinya terpenuhinya rukun dan syarat dalam jual beli. Jual beli disini seperti penerjemahannya dalam khiyar, yaitu pembeli dan penjual mempunyai hak untuk meneruskan atau memeberhentikan jual beli. Sehingga orang yang bertransaksi sama-sama ridho, tidak adanya unsur al bathil. [13]


                                                               

[1] Racmat Syafe’i, Fiqih Mu’amalah  ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 75-76
[2] Ibid.,82-83.
[3] Muhammad Hasbi Ash- Shiddieqy, Tafsir Al- Qur’anul Majid An- Nuur (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 835.

[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur’an vol 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 392.

[5] Ibid.
[6] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di bawah  Naungan Al- Qur’an Jilid II, Terj. As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), 342.

[7] Hamka, Tafsir Al- Azhar Juz V  (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), 31.
[8] Ash- Shiddieqy, Tafsir Al- Qur’an, 836.
[9] Ahmad Mustafa Al- Maragi, Tafsir Al- Maragi Juz V, Terj. Bahrun Abu Bakar dkk (Semarang:  CV. Toha Putra, 1992),  27.
[10] Ash- Shiddieqy, Tafsir Al- Qur’an, 836.
[11] Ahmad,  Tafsir Al- Maragi, 29.
[12] Racmat Syafe’i, Fiqih Mu’amalah  ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 86.

[13] Ibid.,103.

0 komentar:

Posting Komentar