twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Musyaqah



Artikel
Oleh: Siti Nur Haniffah


A. Pengertian Musaqah.
Secara etimologi, Musyaqah berasal dari bahasa Arab, fi’il madli-nya adalah saqa yang artinya mengalirkan, karena mengikuti wazan mufa’alah maka kalimat saqa juga berubah menjadi musyaqah. Menurut terminologi Islam, musyaqah adalah suatu akad dengan memberikan pohon kepada penggarap agar dikelola dan hasilnya dibagi diantara keduanya.[1]
Wahbah Zuhaily mendefinisikan "Musyaqah secara fiqh adalah sebuah istilah dari akad mengenai pekerjaan yang berhubungan dengan pepohonan dengan sebagaian yang dihasilkan olehnya (buahnya), atau perikatan atas beberapa pohon kepada orang yang yang menggarapnya dengan ketetapan buah itu milik keduanya." Sedangkan Menurut Syafi’iyah, Musyaqah adalah: “Orang yang memilki pohon tamar (kurma) dan anggur Memberikan pekerjaan kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara dan menjaganya, dan bagi pekerja ia memperoleh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan dari pohon-pohon tersebut.”[2]
Jadi, musyaqah adalah kerja sama pengolahan pertanian dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.[3]
B. Syarat syarat Musaqah
1. ahli dalam akad
2. menjelaskan bagian penggarap
3. membebaskan pemilik dari pohon
4. hasil dari panen dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad
5. sampai batas akhir yakni menyeluruh sampai akhir.[4]
C. Rukun Musyaqah
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun musyaqah adalah ijab dan qabul, seperti pada mujara’ah. Adapun yang bekerja adalah penggarap saja, tidak seperti dalam mujara’ah. Sedangkan Jumhur  Ulama menetapkan bahwa rukun musyaqah ada lima, yaitu sebagai berikut: [5]
1. Dua orang yang akad (al-aqidani) yaitu harus baligh dan berakal
2. Objek musyaqah
Objek musyaqah menurut ulama Hanafiyah adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiyah lainnya dibolehkan musyaqah atas pohon yang tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan dan siraman. Sedangkan Ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek musyaqah adalah tumbuh-tumbuhan, seperti kacang, pohon yang berbuah dan memiliki akar yang tetap di tanah, seperti anggur, kurma yang berbuah, dan lain-lain, dengan dua syarat:
a. Akad dilakukan sebelum buah tampak dan dapat diperjualbelikan
b. Akad ditentukan dengan waktu tertentu
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa musyaqah dimaksudkan pada pohon-pohon berbuah yang dapat dimakan. Sedangkan Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa musyaqah hanya dapat dilakukan pada kurma dan anggur saja. Kurma didasarkan pada perbuatan Rasulullah saw terhadap orang Khaibar, sedangkan anggur hampir sama hukumnya dengan kurma bila ditinjau dari segi wajib zakatnya. Akan tetapi, madzhab qadim membolehkan semua jenis pepohonan.
3. Buah
Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak
4. Pekerjaan
Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad menjadi tidak sah.
Ulama mensyaratkan penggarap harus mengetahui batas waktu, yaitu kapan maksimal berbuah dan kapan minimal berbuah.
Ulama Hanafiyah tidak memberikan batasan waktu, baik dalam muzara’ah maupun musyaqah sebab Rasulullah saw pun tidak memberikan batasan ketika bermuamalah dengan orang khaibar.
5. Sighat
Menurut Ulama Syafi’iyah, tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam akad musyaqah sebab berlainan akad. Adapun Ulama Hanabilah membolehkannya sebab yang terpenting adalah maksudnya.
B. Pendapat ulama mengenai Musaqah dan Landasan Hukumnya.
1. Pendapat yang membolehkan.
Ibnu Rusyd dalam Bidayatul mujtahid nya menuliskan, Jumhur ulama yakni imam Malik, ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan (dua orang terakhir ini adalah pengikut Abu Hanifah) serta Ahmad dan Dawud-memegang kebolehan bagi hasil. Menurut mereka, bagi hasil ini dikecualikan dari sebuah hadits yang melarang menjual sesuatu yang belum terjadi dan sewa-menyewa yang tidak jelas. Mereka berpegangan pada hadits shaahih dari Ibnu Umar r.a yang artinya: “Rasulullah menyerahkan kepada orang-orang yahudi Khaibar pohon kurma dan tanah khaibar dengaan syarat mereka menggarapnya dari harta mereka, dan bagi Rasulullah adalah separuh dari buahnya” (HR. Bukhari-Muslim).[6]
Menurut Imam Malik bahwa masyaqah dibolehkan untuk semua pohon yang memiliki akar kuat, seperti delima, tin, zaitun dan pohon-pohon yang serupa dengan itu dan dibolehkan pula untuk pohon-pohon yang berakar tidak kuat, seperti semangka, dalam keadaan pemilik tidak lagi memiliki kemampuan untuk menggarapnya. Sedangkan Menurut Madzhab Hambali, musaqah diperbolehkan untuk semua pohon yang buahnya dapat dimakan, dalam kitab al-mughni, Imam malik berkata; musaqah diperbolehkan untuk pohon tadah hujan dan diperbolehkan pula untuk pohon-pohon yang perlu disiram. Menurut Hanafiyah semua pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi, dapat dimusyaqah kan, seperti tebu.[7]
Ulama ulama fiqh kontemporer juga mengikuti pendapat ini, di antaranya adalah Wahbah az-Zuhaili (pengarang Fiqh al-Mu’amalah al-Muashirah), Sayyid Sabiq (pengarang fiqh as-Sunnah), dan Afzalur Rahman (pengarang Economic Doctrines of Islam). Di Indonesia, ulama sepakat atas kebolehan musaqah. Disamping itu, teknis, rukun ,dan syarat Musaqah di telah diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah pasal 266, 267, 268, 269, dan 270.[8]
2. Pendapat yang tidak membolehkan.
Ibnu Rusyd juga menuliskan, menurut Abu Hanifah dan orang-orang yang mengikuti pendapatnya , Musaqah itu tidak diperbolehkan sama sekali. Dasarnya ialah bahwa hadits-hadits yang dipakai sebagai hujjah oleh jumhur ulama yang membolehkan, itu bertentangan dengan aturan-aturan pokok, disamping karena hadits tersebut merupakan keputusan terhadap orang-orang yahudi. Boleh jadi, pengakuan Nabi saw. terhadap orang yahudi itu karena mereka dianggap sebagai hamba dan mungkin pula sebagai warga negara dzimmi (kafir warga negara islam). Hanya saja, jika mereka itu dianggap sebgai warga negara dzimmi, maka anggaan ini berlawanan dengan aturan-aturan pokok, karena yang demikian itu berarti menjual sesuatu yang belum terjadi.[9]
Abu Hanifah juga berpendapat bahwa bagaimanapun juga hal tersebut tidak dapat dipandang halal, karena ada kemungkinan bentuk pembagian hasil hasil kebun yang populer saat itu mengandung sifat-sifat yang sama sehingga mengganggu hak-hak salah satu dari kedua belah pihak atau mendorong timbulnya perselisihan. Beliau memandang bahwa kejahatan-kejahatan seperti inilah yang membuat sistem tersebut terlarang. Jika dikaji lebih lanjut, Abu Hanifah memang pada awalanya sudah mengharamkan akad muzara’ah. Lebih dari itu, beliau dan pengikutnya menyamakan musaqah dan muzara’ah karena Illat yang paling mempengaruhi terhadap pendapat mereka ialah hasil dari akad ini belum ada  dan tidak jelas  ukurannya sehingga keuntungan yang dibagi sejak semula tidak jelas. [10]
3. Pendapat yang membolehkan musaqah hanya terbatas pada kurma dan anggur.
Ini adalah pendapat golongan syafi’iyah. Untuk kebolehan keduanya, mereka mempunyai alasan sendiri-sendiri. Untuk kebolehan kurma, mereka beralasan bahwa bagi hasil itu merupakan suatau rukhsah, Oleh karena itu, musaqah tidak berlaku pada semua jenis pertanian kecuali yang disebutkan dalam as-sunnah. Sedangkan dasar Syafi’i membolehkan musaqah pada anggur ialah karena penentuan bagi hasil itu melalui taksiran atas tangkai, kemudian zakatnya dikeluarkan berupa zabib (anggur kering), zakat kurma juga dikeluarkan berupa kurma kering (tamar).[11]
Sehingga dapat ditarik kesimpulan musaqah sebanarnya adalah kerja sama perkebunan yang dianjurkan dan di praktekkan oleh Nabi Muhamad SAW. Pada waktu atau pasca perang khaibar. Sebagian ulama fiqih dan jumhur jumhur fuqaha kontemporer sudah sepakat atas kebolehan musaqah dengan ketentuan- ketentuan yang sudah diatur secara rinci, karena pendapat ini selain sudah mempunyai dasar yang kuat juga lebih relevan untuk diterapkan didalam dunia  modern baik dalam lembaga keuangan maupun dalam hubungan masyarakat.




[1] Rachmat Syafe’i, Fiqih Mu’amalah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 212.
[2] Hendi Suhendi, Fiqih Mu’amalah  ( Jakarta : PT Grafindo Persada, 2008 ), 145.
[3] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori dan Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 100.
[4] Syafe’i, Fiqih Mu’amalah, 214.
[5] Ibn Rusyd, Bidaya Al- Muntahidwa Nihayah Al- Muqtashid, juz 1 (Beirut: Dar Al- Fikr), 247
[6]  Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam.( Yogyakarta: PT Dana Bakti Wakaf, 1995), 294.
[7] Ibid.
[8] Rahman,  Doktrin Ekonomi Islam, 295.
[9] Ibid., 296
[10] Ibid.
[11] Hendi Suhendi, Fiqih Mu’amalah ( Jakarta : PT Grafindo Persada, 2008 ), 149

0 komentar:

Posting Komentar